BAHAN KLIPING
Dosen Pembimbing : Hj.WS Tarmi, SST,S.Psi,M.Mke
Proses kelahiran bayi itu diawali dari bidan praktek di Lembar , tetapi karena tidak mampu ditangani , lalu dirujuk ke RSUD Patuh Patut Pacu . Disanalah dilakukan proses mengeluarkan bayi yang diduga sudah meninggal . Bidan dan perawat dan seorang dokter IGD menangani bayi itu , tetapi kepala bayi itu terputus saat ditangani .
Kasus Dugaan Malpraktek Di Puskesmas Tanggul
Berlanjut
Jemberpost.com Kasus dugaan mala praktek yang dilakukan
oleh Puskesmas Tanggul terhadap pasien Ika Kustinawati (22) yang bersalin itu
berlanjut. Kini, dua lembaga layanan kesehatan yang menangani mulai saling
lempar dan saling tuduh. RSUD dr Soebandi, menyalahkan penanganan oleh
Puskesmas Tanggul, karena sebelum dibawa ke RSUD dr Soebandi, pasien ini
ditangani Puskesmas Tanggul.
Supriyadi, suami pasien menceritakan bahwa saat itu dirinya mempertanyakan kepada pihak RSUD dr Soebandi. Dijawab oleh pihak RSUD dr Soebandi dalam hal ini oleh Tim Medis yang menangani bahwa kesalahan ada di pihak Puskesmas Tanggul.
“Tim Medis RSUD dr Soebandi, mengatakan bahwa pihak Puskesmas yang menangani pertama itu yang keliru,” ujar Supriyadi.
Supriyadi, tidak berhasil mengingat siapa yang menyatakan itu. Entah dari pihak perawat atau dokter yang menangani di RSUD dr Soebandi. Yang jelas, saat dia kebingungan dan menanyakan pertanggungjawaban ke RSUD , pihak RSUD menyatakan kesalahan lebih di pihak Puskesmas Tanggul.
Sekadar diketahui, saat ini polisi sedang mengusut kasus ini. Kasat Reskrim Polres Jember AKP Kusworo Wibowo, SIk, mengatakan bahwa Tim Penyidik Tipiter telah melakukan penyelidikan. Bahkan, dalam waktu dekat para pihak akan dilakukan pemanggilan secara resmi.
“Terima kasih, laporannya. Dan kita akan tindak lanjuti segera,” ujar Kasat Reskrim AKP Kusworo, kemarin.
Sebelumnya, kasus ini muncul setelah korban Ika Kustinawati, yang hamil 9 bulan lebih itu merasakan akan melahirkan. Lalu oleh keluarga dibawa ke Puskesmas Tanggul, yakni pada tanggal 2 Pebruari 2011.
Saat itu kontraksi terjadi. Dan penanganan dilakukan seperti pasien biasa selama ini yang hendak melahirkan. Pihak perawat, bidan, dan tim medis magang itu menangani serius Ika.
“Sebetulnya, saya diminta ke bidan terdekat. Tetapi saya ada menyuruh ke Puskesmas saja.,” ujarnya.
Penanganan itu dilakukan setelah tanggal 3 Pebruari 2011, pukul 15.00 WIB besoknya, karena air ketuban sudah pecah. Baru kemudian karena sudah pecah, maka vagina bagian atas digunting.
Sebab, saat itu tidak segera keluar bayinya. Karena belum keluar juga digunting lagi di bagian bawah. Bahkan, saat itu perutnya didorong dengan perawat dan bidan – bidan itu. “Yang menggunting saya itu lebih banyak bidan magang,” ujar Ika Kustinawati.
Baru setelah beberapa jam, bayi bisa
dikeluarkan. Beratnya sekitar 3,1 Kg. Kemudian vagina dijahit. Hanya saja saat
itu mengalami kekacauan sebab batas vagina dan dubur itu sudah tidak ada lagi
batas. Hanya tersisa satu centimeter saja.
Karena Puskesmas akhirnya tidak sanggup, maka dirujuk ke RSUD dr Soebandi. Hanya saja sampai di RSUD dr Soebandi ditangani biasa.
“Saat itu, pihak RSUD menyayangkan kenapa kok jadi seperti ini. Kalau tidak sanggup sejak awal kan seharusnya dikirim ke RSUD. Bayi 3,1 Kg, kok seperti ini,” ujar dokter di RSUD dr Soebandi.
Kini keluarga dan pasien saat meminta pertanggungjawaban ke Puskesmas tidak digubris. Bahkan dicampakkan begitu saja. “Kita seperti dibuang begitu saja,” ujarnya.
Bidan Siti Muawanah – adalah saksi kunci dalam kasus ini. Proses persalinan diduga tidak wajar karena pengguntingan vagina hingga 3 centi meter lebih. Kini, orangtua bayi laki – laki bernama Ifza Praditya Akbar (1 bulan) terbaring lemah di tempat tidur. Dia menunggu kejelasan penanganan dan pertanggungjawaban dari pihak Puskesmas Tanggul. ki
Padang Ekspres • Kamis, 31/03/2011 09:02 WIB • (mg6/ril)
• 10699 klik
Menurut hakim,
putusan tersebut mengacu pada Pasal 361 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUH
Pidana), tentang kelalaian atau kealpaan dalam menjalankan tugas menyebabkan
orang lain meninggal dunia. Hakim mengenyampingkan Pasal 29 UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan, yang memungkinkan penyelesaian melalui mediasi di luar
persidangan, bila ada tuntutan dari pasien yang merasa dirugikan.
”Kedua undang undang (UU Kesehatan dan KUHP) itu jelas bertolak belakang. Namun demikian, kami berketetapan dua terdakwa, Desi Sarli dan Siska Malasari, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kelalaian dalam bertugas,” kata Ketua Majelis Hakim, Nilni Eva Yusnita. Mesti sesama bidan, tapi keduanya punya peran berbeda, sehingga hukuman keduanya pun tak sama. Sementara itu, terdakwa III dalam kasus itu, Cici Kamiarsih, 28, asisten apoteker, divonis bebas oleh Majelis Hakim, karena dinilai tidak terbukti bersalah.
Usai menyampaikan putusan, majelis hakim bertanya kepada kedua terdakwa, apakah akan banding. Keduanya langsung menjawab, banding. Hakim Nilni pun menyatakan bahwa putusan Majelis Hakim PN Padang, belum berkekuatan hukum tetap. Hakim juga tak memerintahkan keduanya langsung ditahan.Vonis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkardiman. JPU menuntut ketiga terdakwa dengan hukuman pidana penjara masing-masing 1 tahun 6 bulan.
Hakim Beda Pendapat
Putusan hakim tersebut sebetulnya tak bulat. Salah satu hakim Yoserizal, berbeda pendapat dengan Nilni Eva Yusnita, dan Zulkifli. Nilni dan Zulkifli sepakat menghukum kedua terdakwa, karena melanggar Pasal 361 KUH Pidana. Namun Yoserizal berpendapat lain. Dalam dissenting opinion, Yoserizal menjelaskan, bahwa kasus yang diduga malapraktik itu tidak mesti masuk ranah pidana. Artinya, dua bidan yang jadi terdakwa tidak mesti dipenjara. Menurut Yoserizal, dalam kasus tersebut, semestinya digunakan UU Kesehatan, sehingga penyelesaiannya melalui mediasi.
Dalam putusan yang dibacakan secara bergantian, itu hakim menyebutkan beberapa kelalaian yang dilakukan bidan Desi dan Siska, sewaktu menolong proses kelahiran anak Chori, 3 Januari 2009. Desi dan Siska, menurut hakim, telah mengulur waktu ketika merujuk Chori ke rumah sakit. Padahal, ketika datang ke Klinik Fitria, tempat keduanya bekerja, Chori sudah dalam keadaan mau melahirkan. Bahkan, usia kandungannya sudah lewat sembilan bulan.
Kedua terdakwa memang telah membantu persalinan Chori. Tapi setelah dua jam, bayi Chori tak juga lahir. Chori pun letih, dan tidak bisa lagi mengejan. Saat itu air ketuban Chori sudah pecah. Menurut saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, karena tempo waktu yang terlalu lama, Chori akhirnya mengalami infeksi saluran peranakan. Hal itu dibuktikan dengan hijaunya air ketuban. Normalnya, air ketuban berwarna bening. ”Semestinya, kedua bidan langsung merujuk ke rumah sakit. Tak usah lalai. Akibatnya fatal. Bayi Chori meninggal setelah 15 menit dilahirkan,” kata Nilni.
Sementara itu, tentang peran Cici Kamiarsih, yang memberi Chori obat tablet gastrul yang diresepkan Desi, tidak dinilai hakim sebagai sebuah pelanggaran. Seorang saksi ahli, memang menyebutkan bahwa pemberian obat gastrul yang golongan G (berbahaya) semestinya diberikan atas resep dokter, bukan inisiatif bidan secara pribadi. Namun saksi ahli lainnya, dari RS M Djamil, Gustafianof menjelaskan, obat gastrul yang diberikan terdakwa Cici pada Chori bukanlah obat yang berbahaya. Obat itu sudah lazim digunakan dalam bidang obstetric dan gikenologi dengan tujuan untuk mempercepat proses persalinan. Dan, tak ada efek samping.
Obat gastrul merupakan obat yang biasa digunakan untuk ibu yang masa kehamilannya sudah 42 minggu atau sudah 38 minggu. Tujuannya untuk menimbulkan kontraksi rahim guna memperlancar proses kelahiran. Penggunaan obat gastrul oleh bidan di klinik-klinik bersalin pun sudah diatur dalam Kepmenkes 369/Menkes/SK/III/120/07 tentang standar profesi bidan. Hakim menggunakan pendapat Gustafianof.
”Dengan fakta persidangan itulah, kami menyatakan terdakwa Cici Kamiarsih bebas, dan dipulihkan kembali hak-haknya. Karena obat gastrul itu tidak berbahaya dan tidak berdampak pada kematian bayi,” kata Nilni. Penjelasan ini mendapat aplaus dari ratusan bidan yang menghadiri sidang.
Usai hakim mengetok palu, para bidan yang berada di luar ruang sidang langsung merangsek ke dalam. Termasuk Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Sumbar Mulyati Usman. Bidan Desi sempat dipeluk dan meraung di pangkuan Mulyati. Pengacara kedua bidan, Rimaison Syarif, menyatakan segera mengajukan banding. ”Kita langsung banding. Vonis hakim tidak berdasarkan keadilan,” tutur Rimaison usai persidangan.
Dugaan malapraktik tersebut terjadi pada tanggal 3 Januari 2009 silam. Ketika itu, sekitar pukul 13.00 Desi yang bertugas sebagai bidan di Klinik Fitria kedatangan seorang pasien bernama Chori yang sedang hamil tua. Chori memang ingin memeriksakan kehamilannya, dan sekaligus ingin melahirkan di klinik tersebut.
Ketika itu Chori diberi obat gastrul diizinkan pulang. Di rumah, Chori mengalami sakit perut setelah minum obat gastrul. Ia kemudian dibawa lagi ke Klinik Fitria. Di klinik, Chori dibawa ke ruang bersalin, Desi dan Siska langsung mempersiapkan persalinan. Namun kepala bayi masih dalam keadaan keluar masuk. Saat itu Desi dan Siska memberitahukan kepada dokter. Atas rekomendasi dokter, Desi bertanya kepada keluarga Chori ke mana akan dirujuk. Sebab Chori tak bisa lagi ditangani di klinik. Dengan alasan asuransi, akhirnya atas persetujuan Asnimar (ibu Chori), dan suami Chori, akhirnya Chori dibawa ke RS Marnaini Asri di Jalan M. Hatta Padang.
Akibat usia kehamilan yang telah melebihi batas, akhirnya bayi Chori dilahirkan juga, sekitar pukul 20.30 WIB. Waktu itu, bayi Chori mengalami sesak, nafas. Sekitar 15 menit kemudian bayi yang baru saja dilahirkan ini pun menghembuskan napas terakhirnya. Keluarga Chori menuduh bidan Klinik Fitria telah lalai. Mereka mengadu ke polisi.
Dukungan Moral
Di persidangan ini, ketiga bidan mendapat dukungan moral dari ratusan bidan yang tergabung dalam IBI se-Sumbar. Sejak pukul 08.00 WIB, ratusan bidan sudah memadati PN Padang. Para bidan sempat kecewa dan menggerutu, karena sidang yang sedianya digelar pukul 09.00 WIB, diundur hingga pukul 14.00 WIB. Padahal, mereka sudah masuk ke dalam ruang sidang.
Meski sempat diundur, para bidan yang dikoordinir Ketua IBI Sumbar Mulyati Usman tidak meninggalkan pengadilan sampai sidang selesai. Usai pembacaan vonis Desi memeluk suaminya, Imam Gunawan. Ungkapan Desi yang diiringi isak tangi kontan membuat haru ruang siding. Rekan-rekannya nampak sedih. “Desi ndak basalah do, Bang. Desi ndak basalah doh (Desi tidak bersalah bang),” kata-kata itu terus menerus diucapkan oleh Desi sembari memeluk erat suaminya.
Siska bahkan nyaris pingsan ketika hakim menyatakan ia bersalah. Didampingi sang Ibunda tercinta, Siska yang sedang berbadan dua juga meraung-raung. “Ika ndak basalah doh. Jan tahan Ika. Ika ndak nio masuak penjaro doh, Ma. Tolong Ika, jan salahan Ika (Ika—sebutan ke dirinya—tidak bersalah. Jangan tahan Ika. Ikan tidak mau masuk penjara. Jangan salahkan Ika),” ucap Siska sambil terus memegang perutnya yang mulai membuncit.
Sementara, Cici Kamiarsih, mengatakan walaupun bebas tapi ia masih tetap prihatin terhadap nasib temannya. “Tak tahu saya mau bilang apa sekarang. Saya memikirkan nasib Desi dan Siska. Saya berharap ia juga dibebaskan bersama saya,” ujarnya.
Mulyati Usman dihadapan ratusan bidan se-Sumbar yang ikut memberikan dukungan moril di persidangan, berjanji akan tetap mendampingi Desi dan Siska sampai kasus tersebut selesai. “Kita akan dampingi Desi dan Siska dalam menghadapi kasus ini, kalau perlu IBI Sumbar akan mencarikan pengacara khusus untuk rekan kami ini,” tegas Mulyati Usman. Sesekali terdengar teriakan beberapa orang bidan yang mengajak teman-temannya mogok kerja. “Besok kita tidak usah kerja,” katanya.
Dugaan malapraktik ini memang baru kali ini masuk persidangan. Oleh sebab itu para tenaga kesehatan tersebut pantas saja cemas. Sebab, bila kasus tersebut sampai dinyatakan melanggar hukum melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, para tenaga kesehatan tersebut tentu akan merasa terancam ketika menjalankan tugas. Sewaktu-waktu bisa mereka yang diseret ke pengadilan. (mg6/ril)
Bidan Desa P. Waysindi Diduga Malpraktek
Berikut ini adalah salah
satu kasus nyata malpraktik yang
dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan
yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang
berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
Terkait Kasus Aborsi di Sentosa Lama, Dr dan Bidan Ditahan
Poltabes Medan
Posted in Kriminal by Redaksi on
Desember 15th, 2009
Medan (SIB)
Terkait kasus dugaan melakukan aborsi di salah satu rumah yang diduga dijadikan sebagai tempat praktek aborsi di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama yang digerebek anggota Reskrim Poltabes Medan, Sabtu (12/12) lalu, dua orang telah dijadikan tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan. Kedua tersangka yakni Dr J dan Bidan M.
Kasat Reskrim Kompol Gidion Arif Setyawan SIK dan Kanit VC Poltabes Medan AKP Ronny Nicolas Sidabutar SIK saat dikonfirmasi SIB, Senin (14/12) membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Dr J dan Bidan M sebagai tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan guna pengusutan lebih lanjut.
Untuk biaya aborsi, R dikenakan biaya Rp 2 juta oleh tersangka. Diduga, R melakukan aborsi atas kemauan dirinya sendiri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penggerebekan itu berawal dari adanya laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa satu rumah di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama kerap kali dijadikan tempat praktek aborsi.
Kemudian anggota Unit VC Reskrim Poltabes Medan melakukan penyelidikan di lapangan sekaligus menggerebek rumah tersebut. Dr J dan Bidan M yang diduga sebagai pelaku aborsi tersebut selanjutnya diboyong ke Mapoltabes Medan untuk diperiksa. (M16/y)
Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan psikologi.
Jadi, pada kasus aborsi di atas, pelaku (bidan) ditindak oleh kepolisian dan dijerat KUHP Bab XIX Pasal 299, 348 dan 349 serta UU Kesehatan No.23 tahun 1992 Pasal 80 ayat 1. Dan bidan tersebut dicabut ijin praktiknya. Sedangkan korban dijerat KUHP pasal 346.
Putusnya Kepala Bayi
dalam proses persalinan di Rumah Sakit Umum Patuh Patut Pacu Lombok Barat kamis
( 10/2) menurut pihak Rumah Sakit bukan karena malpraktek , sebab telah
dilakukan dengan prosudur yang benar .
Kepala Bayi pasangan
Nurhasanah ( 30 ) dan Muhammad Sawab ( 35 ) itu putus ketika ditangani sejumlah
perawat dan dokter UGD di RSUD itu Tanpa pengawasan Dokter Spesialis
Kandungan .
Pihak Rumah Sakit
dalam pernyataan resmi sabtu (12/2 ) yang disampaikan Dokter I Ketut
Sepidiarti SPOG spesialis kandungan di RSUD itu menyatakan Proses
persalinan sesuai prosudur . " Tidak ada masalah secara medis , sebab
penanganan sudah benar .
Bayi itu , kata
dokter Sepidiarti , kondisinya anomali yang mayor yang sifatnya Letal
anomaly . Kalaupun dilahirkan hidupnya sangat singkat karena ada pembengkakan
di perut terutama pada limpa dan hati . Kata dokter spesialis kandungan itu .
Pihak rumah sakit
sudah memastikan bahwa bayi itu telah meninggal sebelum dikeluarkan . Pihak
rumah Sakit menyatakan bidan yang menangani bayi itu terlah terlatih dan
mengikuti cara mengeluarkan bayi yang telah meninggal. Walaupun hanya dibandu
dokter IGD secara medis telah sesuai prosudur .
Dokter Spidiarti
mengakui saat peristiwa putusnya kepala bayi itu, ia tidak di rumah sakit
karena sudah jam pulang . " saya tidak mungkin kembali ke RS karena sudah
berada di rumah dan butuh waktu istirahat " katanya . Namun demikian
operasi untuk mengeluarkan bayi di RS Bhayangkara pasca putusnya kepala bayi
itu justru dilakukan oleh dokter Spidiarti .
Proses kelahiran bayi itu diawali dari bidan praktek di Lembar , tetapi karena tidak mampu ditangani , lalu dirujuk ke RSUD Patuh Patut Pacu . Disanalah dilakukan proses mengeluarkan bayi yang diduga sudah meninggal . Bidan dan perawat dan seorang dokter IGD menangani bayi itu , tetapi kepala bayi itu terputus saat ditangani .
Orang tua korban
tidak terima dan meminta segera dirujuk ke RS Bhayangkara Ampenan untuk
menjalani operasi mengeluarkan tubuh bayi itu dari rahim ibunya .
Keluarga yang tidak
menerima kejadian tersebut , melaporkan kasus itu ke Polres Lombok Barat dengan
dugaan malpraktek yang menyebabkan kepala bayi itu terputus . Menanggapi hal
itu pihak RSUD Patuh Patut Pacu siap menghadapi laporan tersebut
.Sedangkan Dinas Kesehatan sedang melakukan analisa kasus putusnya kepala
bayi saat proses kelahiran , sebab ini adalah kejadian pertama di NTB . Menurut
Kepala Dinas Kesehatan NTB dr. Muhammad Ismail , pihaknya tidak gegabah
menyatakan itu malpraktek . Tetapi jika terdapat indikasi malpraktek , pihak
RSUD Patuh Patut Pacu harus bertanggung jawab
Polres Lombok Barat
membenarkan adanya laporan dugaan malpraktek yang menyebabkan terputusnya
kepala Bayi pasangan Nurhasanah dan Muhammad Sawab . Kasus itu masih dalam
penyelidikan dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka . Polisi akan
memanggil bidan , perawat dan dokter yang menangani persalinan bayi itu untuk
diminta keterangan sebagai saksi . ( Inanalif / Infosketsa.com ).
Kasus Malpraktek (Aborsi)
Kasus
Judul : Remaja Aborsi Tewas Usai Disuntik Bidan
Kasus:
Minggu,18 Mei 2008 20:00 WIB
Minggu,18 Mei 2008 20:00 WIB
KEDIRI - Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri. Novila Sutiana
(21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas
setelah berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas
setelah disuntik obat perangsang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa naas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi
hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates,
Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang
sah, namun hasil hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso.
Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang
istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap
tinggal sendirian di rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang
masih kerabat bibinya di Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya.
Ironisnya, hubungan tersebut berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila
hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan janin
tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang
Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge,
Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar
informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan
cara suntik.
Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan
alasan keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan
Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan
Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang
diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat
penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco
Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien
yang disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri
janin yang dikandungnya.
"Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam
setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya,"
terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu
(18/5/2008).
Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami
kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh
Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan
rasa sakit. Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu.
Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri.
Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan
Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di
rumah sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas
membekuk Endang di rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah
tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban.
Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap
menyebabkan kematian Novila.
Lamin (50), ayah
Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan kehamilan yang
dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar.
Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.
Akibat perbuatan
tersebut, Endang diancam dengan pasal 348 KUHP tentang pembunuhan. Hukuman itu
masih diperberat lagi mengingat profesinya sebagai tenaga medis atau bidan.
Selain itu, polisi juga menjeratnya dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992.
Belum diketahui secara pasti sudah berapa lama Endang membuka praktik aborsi
tersebut. (Hari Tri Wasono, 2008)
Kasus Dugaan Malpraktek Di Puskesmas Tanggul
Berlanjut
3 Maret 2011 pukul 11:10
Supriyadi, suami pasien menceritakan bahwa saat itu dirinya mempertanyakan kepada pihak RSUD dr Soebandi. Dijawab oleh pihak RSUD dr Soebandi dalam hal ini oleh Tim Medis yang menangani bahwa kesalahan ada di pihak Puskesmas Tanggul.
“Tim Medis RSUD dr Soebandi, mengatakan bahwa pihak Puskesmas yang menangani pertama itu yang keliru,” ujar Supriyadi.
Supriyadi, tidak berhasil mengingat siapa yang menyatakan itu. Entah dari pihak perawat atau dokter yang menangani di RSUD dr Soebandi. Yang jelas, saat dia kebingungan dan menanyakan pertanggungjawaban ke RSUD , pihak RSUD menyatakan kesalahan lebih di pihak Puskesmas Tanggul.
Sekadar diketahui, saat ini polisi sedang mengusut kasus ini. Kasat Reskrim Polres Jember AKP Kusworo Wibowo, SIk, mengatakan bahwa Tim Penyidik Tipiter telah melakukan penyelidikan. Bahkan, dalam waktu dekat para pihak akan dilakukan pemanggilan secara resmi.
“Terima kasih, laporannya. Dan kita akan tindak lanjuti segera,” ujar Kasat Reskrim AKP Kusworo, kemarin.
Sebelumnya, kasus ini muncul setelah korban Ika Kustinawati, yang hamil 9 bulan lebih itu merasakan akan melahirkan. Lalu oleh keluarga dibawa ke Puskesmas Tanggul, yakni pada tanggal 2 Pebruari 2011.
Saat itu kontraksi terjadi. Dan penanganan dilakukan seperti pasien biasa selama ini yang hendak melahirkan. Pihak perawat, bidan, dan tim medis magang itu menangani serius Ika.
“Sebetulnya, saya diminta ke bidan terdekat. Tetapi saya ada menyuruh ke Puskesmas saja.,” ujarnya.
Penanganan itu dilakukan setelah tanggal 3 Pebruari 2011, pukul 15.00 WIB besoknya, karena air ketuban sudah pecah. Baru kemudian karena sudah pecah, maka vagina bagian atas digunting.
Sebab, saat itu tidak segera keluar bayinya. Karena belum keluar juga digunting lagi di bagian bawah. Bahkan, saat itu perutnya didorong dengan perawat dan bidan – bidan itu. “Yang menggunting saya itu lebih banyak bidan magang,” ujar Ika Kustinawati.
Karena Puskesmas akhirnya tidak sanggup, maka dirujuk ke RSUD dr Soebandi. Hanya saja sampai di RSUD dr Soebandi ditangani biasa.
“Saat itu, pihak RSUD menyayangkan kenapa kok jadi seperti ini. Kalau tidak sanggup sejak awal kan seharusnya dikirim ke RSUD. Bayi 3,1 Kg, kok seperti ini,” ujar dokter di RSUD dr Soebandi.
Kini keluarga dan pasien saat meminta pertanggungjawaban ke Puskesmas tidak digubris. Bahkan dicampakkan begitu saja. “Kita seperti dibuang begitu saja,” ujarnya.
Bidan Siti Muawanah – adalah saksi kunci dalam kasus ini. Proses persalinan diduga tidak wajar karena pengguntingan vagina hingga 3 centi meter lebih. Kini, orangtua bayi laki – laki bernama Ifza Praditya Akbar (1 bulan) terbaring lemah di tempat tidur. Dia menunggu kejelasan penanganan dan pertanggungjawaban dari pihak Puskesmas Tanggul. ki
Dua Bidan Divonis Pidana
Penjara
Hakim: Terdakwa
Lalai, Sehingga Bayi Meninggal
Menurut hakim,
putusan tersebut mengacu pada Pasal 361 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUH
Pidana), tentang kelalaian atau kealpaan dalam menjalankan tugas menyebabkan
orang lain meninggal dunia. Hakim mengenyampingkan Pasal 29 UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan, yang memungkinkan penyelesaian melalui mediasi di luar
persidangan, bila ada tuntutan dari pasien yang merasa dirugikan.”Kedua undang undang (UU Kesehatan dan KUHP) itu jelas bertolak belakang. Namun demikian, kami berketetapan dua terdakwa, Desi Sarli dan Siska Malasari, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kelalaian dalam bertugas,” kata Ketua Majelis Hakim, Nilni Eva Yusnita. Mesti sesama bidan, tapi keduanya punya peran berbeda, sehingga hukuman keduanya pun tak sama. Sementara itu, terdakwa III dalam kasus itu, Cici Kamiarsih, 28, asisten apoteker, divonis bebas oleh Majelis Hakim, karena dinilai tidak terbukti bersalah.
Usai menyampaikan putusan, majelis hakim bertanya kepada kedua terdakwa, apakah akan banding. Keduanya langsung menjawab, banding. Hakim Nilni pun menyatakan bahwa putusan Majelis Hakim PN Padang, belum berkekuatan hukum tetap. Hakim juga tak memerintahkan keduanya langsung ditahan.Vonis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkardiman. JPU menuntut ketiga terdakwa dengan hukuman pidana penjara masing-masing 1 tahun 6 bulan.
Hakim Beda Pendapat
Putusan hakim tersebut sebetulnya tak bulat. Salah satu hakim Yoserizal, berbeda pendapat dengan Nilni Eva Yusnita, dan Zulkifli. Nilni dan Zulkifli sepakat menghukum kedua terdakwa, karena melanggar Pasal 361 KUH Pidana. Namun Yoserizal berpendapat lain. Dalam dissenting opinion, Yoserizal menjelaskan, bahwa kasus yang diduga malapraktik itu tidak mesti masuk ranah pidana. Artinya, dua bidan yang jadi terdakwa tidak mesti dipenjara. Menurut Yoserizal, dalam kasus tersebut, semestinya digunakan UU Kesehatan, sehingga penyelesaiannya melalui mediasi.
Dalam putusan yang dibacakan secara bergantian, itu hakim menyebutkan beberapa kelalaian yang dilakukan bidan Desi dan Siska, sewaktu menolong proses kelahiran anak Chori, 3 Januari 2009. Desi dan Siska, menurut hakim, telah mengulur waktu ketika merujuk Chori ke rumah sakit. Padahal, ketika datang ke Klinik Fitria, tempat keduanya bekerja, Chori sudah dalam keadaan mau melahirkan. Bahkan, usia kandungannya sudah lewat sembilan bulan.
Kedua terdakwa memang telah membantu persalinan Chori. Tapi setelah dua jam, bayi Chori tak juga lahir. Chori pun letih, dan tidak bisa lagi mengejan. Saat itu air ketuban Chori sudah pecah. Menurut saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, karena tempo waktu yang terlalu lama, Chori akhirnya mengalami infeksi saluran peranakan. Hal itu dibuktikan dengan hijaunya air ketuban. Normalnya, air ketuban berwarna bening. ”Semestinya, kedua bidan langsung merujuk ke rumah sakit. Tak usah lalai. Akibatnya fatal. Bayi Chori meninggal setelah 15 menit dilahirkan,” kata Nilni.
Sementara itu, tentang peran Cici Kamiarsih, yang memberi Chori obat tablet gastrul yang diresepkan Desi, tidak dinilai hakim sebagai sebuah pelanggaran. Seorang saksi ahli, memang menyebutkan bahwa pemberian obat gastrul yang golongan G (berbahaya) semestinya diberikan atas resep dokter, bukan inisiatif bidan secara pribadi. Namun saksi ahli lainnya, dari RS M Djamil, Gustafianof menjelaskan, obat gastrul yang diberikan terdakwa Cici pada Chori bukanlah obat yang berbahaya. Obat itu sudah lazim digunakan dalam bidang obstetric dan gikenologi dengan tujuan untuk mempercepat proses persalinan. Dan, tak ada efek samping.
Obat gastrul merupakan obat yang biasa digunakan untuk ibu yang masa kehamilannya sudah 42 minggu atau sudah 38 minggu. Tujuannya untuk menimbulkan kontraksi rahim guna memperlancar proses kelahiran. Penggunaan obat gastrul oleh bidan di klinik-klinik bersalin pun sudah diatur dalam Kepmenkes 369/Menkes/SK/III/120/07 tentang standar profesi bidan. Hakim menggunakan pendapat Gustafianof.
”Dengan fakta persidangan itulah, kami menyatakan terdakwa Cici Kamiarsih bebas, dan dipulihkan kembali hak-haknya. Karena obat gastrul itu tidak berbahaya dan tidak berdampak pada kematian bayi,” kata Nilni. Penjelasan ini mendapat aplaus dari ratusan bidan yang menghadiri sidang.
Usai hakim mengetok palu, para bidan yang berada di luar ruang sidang langsung merangsek ke dalam. Termasuk Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Sumbar Mulyati Usman. Bidan Desi sempat dipeluk dan meraung di pangkuan Mulyati. Pengacara kedua bidan, Rimaison Syarif, menyatakan segera mengajukan banding. ”Kita langsung banding. Vonis hakim tidak berdasarkan keadilan,” tutur Rimaison usai persidangan.
Dugaan malapraktik tersebut terjadi pada tanggal 3 Januari 2009 silam. Ketika itu, sekitar pukul 13.00 Desi yang bertugas sebagai bidan di Klinik Fitria kedatangan seorang pasien bernama Chori yang sedang hamil tua. Chori memang ingin memeriksakan kehamilannya, dan sekaligus ingin melahirkan di klinik tersebut.
Ketika itu Chori diberi obat gastrul diizinkan pulang. Di rumah, Chori mengalami sakit perut setelah minum obat gastrul. Ia kemudian dibawa lagi ke Klinik Fitria. Di klinik, Chori dibawa ke ruang bersalin, Desi dan Siska langsung mempersiapkan persalinan. Namun kepala bayi masih dalam keadaan keluar masuk. Saat itu Desi dan Siska memberitahukan kepada dokter. Atas rekomendasi dokter, Desi bertanya kepada keluarga Chori ke mana akan dirujuk. Sebab Chori tak bisa lagi ditangani di klinik. Dengan alasan asuransi, akhirnya atas persetujuan Asnimar (ibu Chori), dan suami Chori, akhirnya Chori dibawa ke RS Marnaini Asri di Jalan M. Hatta Padang.
Akibat usia kehamilan yang telah melebihi batas, akhirnya bayi Chori dilahirkan juga, sekitar pukul 20.30 WIB. Waktu itu, bayi Chori mengalami sesak, nafas. Sekitar 15 menit kemudian bayi yang baru saja dilahirkan ini pun menghembuskan napas terakhirnya. Keluarga Chori menuduh bidan Klinik Fitria telah lalai. Mereka mengadu ke polisi.
Dukungan Moral
Di persidangan ini, ketiga bidan mendapat dukungan moral dari ratusan bidan yang tergabung dalam IBI se-Sumbar. Sejak pukul 08.00 WIB, ratusan bidan sudah memadati PN Padang. Para bidan sempat kecewa dan menggerutu, karena sidang yang sedianya digelar pukul 09.00 WIB, diundur hingga pukul 14.00 WIB. Padahal, mereka sudah masuk ke dalam ruang sidang.
Meski sempat diundur, para bidan yang dikoordinir Ketua IBI Sumbar Mulyati Usman tidak meninggalkan pengadilan sampai sidang selesai. Usai pembacaan vonis Desi memeluk suaminya, Imam Gunawan. Ungkapan Desi yang diiringi isak tangi kontan membuat haru ruang siding. Rekan-rekannya nampak sedih. “Desi ndak basalah do, Bang. Desi ndak basalah doh (Desi tidak bersalah bang),” kata-kata itu terus menerus diucapkan oleh Desi sembari memeluk erat suaminya.
Siska bahkan nyaris pingsan ketika hakim menyatakan ia bersalah. Didampingi sang Ibunda tercinta, Siska yang sedang berbadan dua juga meraung-raung. “Ika ndak basalah doh. Jan tahan Ika. Ika ndak nio masuak penjaro doh, Ma. Tolong Ika, jan salahan Ika (Ika—sebutan ke dirinya—tidak bersalah. Jangan tahan Ika. Ikan tidak mau masuk penjara. Jangan salahkan Ika),” ucap Siska sambil terus memegang perutnya yang mulai membuncit.
Sementara, Cici Kamiarsih, mengatakan walaupun bebas tapi ia masih tetap prihatin terhadap nasib temannya. “Tak tahu saya mau bilang apa sekarang. Saya memikirkan nasib Desi dan Siska. Saya berharap ia juga dibebaskan bersama saya,” ujarnya.
Mulyati Usman dihadapan ratusan bidan se-Sumbar yang ikut memberikan dukungan moril di persidangan, berjanji akan tetap mendampingi Desi dan Siska sampai kasus tersebut selesai. “Kita akan dampingi Desi dan Siska dalam menghadapi kasus ini, kalau perlu IBI Sumbar akan mencarikan pengacara khusus untuk rekan kami ini,” tegas Mulyati Usman. Sesekali terdengar teriakan beberapa orang bidan yang mengajak teman-temannya mogok kerja. “Besok kita tidak usah kerja,” katanya.
Dugaan malapraktik ini memang baru kali ini masuk persidangan. Oleh sebab itu para tenaga kesehatan tersebut pantas saja cemas. Sebab, bila kasus tersebut sampai dinyatakan melanggar hukum melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, para tenaga kesehatan tersebut tentu akan merasa terancam ketika menjalankan tugas. Sewaktu-waktu bisa mereka yang diseret ke pengadilan. (mg6/ril)
Jumat, 05 Agustus 2011
Bidan Desa P. Waysindi Diduga Malpraktek
REALITA
NUSANTARA – ONLINE. LAMBAR
Lambar, Sergap – Pemerintah mengupayakan program kesehatan yang prima bagi
seluruh masyarakat. Tapi, sejauh ini program masih tersendat artinya belum
dilaksanakan secara baik oleh petugas kesehatan di lapangan. Seperti yang
terjadi di Pekon Waysindi Kecamatan Karyapenggawa, Kabupaten Lampung Barat
(Lambar) yang disinyalir telah melakukan malpraktek yang dilakukan oleh Bidan
Desa Lidia Mispita terhadap Marisa Febiola yang berusia 3 bulan. Akibat
kecerobohan dan tidak ketelitiannya dalam menangani pasien berusia 3 bulan itu,
meninggal dunia.
Menurut keluarga yang ditemui Sergap di
kediamannya, mengungkapkan kronologis kejadian, yakni pada hari Kamis (23/5)
pihak Puskesmas mengadakan kegiatan pemeriksaan kesehatan Balita di Posyandu
Balai Pekon, yang ditangani bidan.
Ketika itu Bidan Lidia Maspita memasukkan
vaksin ke tubuh pasien Marisa melalui suntikan pada paha kiri. Pada sore
harinya bekas suntikan tersebut mengalami pembengkakkan dan menimbulkan
ketidaknyamanan bagi Marisa. Sejak pembengkakkan itu, Marisa tidak henti-hentinya
menangis karena menahan rasa sakit yang ia alami. Tak hanya itu, bahkan bekas
suntikan itu mengeluarkan darah segar yang tiada henti-hentinya dan
pembengkakkan itu merata ke seluruh kaki sebelah kiri.
Upaya yang dilakukan pihak keluarga pada saat
itu tepatnya hari Jum’at, mereka telah memanggil bidan Lidia untuk mengecek
atau melakukan penanggulangan atas derita yang dialami pasien Marisa. Akan
tetapi bidan Lidia tidak segera datang untuk memeriksa pasien Marisa, bahkan
bidan itu sempat berkata bahwa ia akan datang. Hingga menjelang sorenya bidan
itu ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba, bahkan si bidan malah mengutus pembantu
rumah tangganya untuk menanyakan apakah pasien masih mengalami pendaharan atau
tidak lagi. Sore itu, pihak keluarga pasien menambahkan, pendarahan yang
dialami Marisa telah berhenti.
Keesokan harinya, Sabtu, bidan baru menjenguk
pasien di kediamannya karena pasien mengalami pendarahan kembali dan terus
menangis. Pada akhirnya bidan itu memberikan obat yang dibawa dari puskesmas.
Diakui pihak keluarga setelah diberi obat yang
dibawa bidan itu, tangis anaknya agak berkurang, tapi tidak mengurangi panasnya
suhu paha sebelah kiri dan tidak mengurangi kejang-kejang pada kaki kirinya.
Minggu pukul 03 dini hari, Marisa akhirnya meninggal dunia. Kuat dugaan anak
tersebut mengalami infeksi disebabkan karena kelalaian dan ketidakcermatan si
bidan dalam menangani pasien karena dimana ada sebab disitu ada akibat.
Dikonfirmasi Sergap di kediamannya (26/5), Bidan Lidia Maspita mengatakan dirinya
tidak ada wewenang untuk memberikan keterangan mengenai hal itu, sebab semuanya
telah ia kuasakan terhadap pimpinannya.
“Saya tidak berhak memberikan penjelasan atas
masalah ini, sebaiknya saudara menemui Kepala Puskesmas saja,” katanya.
Sedangkan Kepala Puskesmas, dr. Edwin H. Ma’as disela
kesibukannya mengungkapkan bahwa permasalahan itu telah ia laporkan ke dinas
terkait, dan mereka segera akan turun untuk mengecek kebenaran dan penyebab
dari peritiwa itu.
“Ini masalah kedinasan, jadi saya harus melaporkan kejadian tersebut secepatnya serta dirinya tidak memihak kepada siapa-siapa,” tutur Edwin.
“Ini masalah kedinasan, jadi saya harus melaporkan kejadian tersebut secepatnya serta dirinya tidak memihak kepada siapa-siapa,” tutur Edwin.
Selanjutnya imbuh Edwin, kemungkinan ada
beberapa faktor masalah yang menyebabkan tentang tragedi itu. Pertama, mungkin
masalah obat yang diberikan, apakah obat itu terlalu keras dengan kata lain
dosisnya terlalu tinggi sehingga menimbulkan pembengkakkan. Kedua, mungkin
apakah anaknya mengidap penyakit tertentu dan ketiga hal itu perlu diteliti.
Saat disinggung Sergap tentang versi kronologis dari pihak Puskesmas, Edwin
menambahkan pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti, sebab hal itu
sedang dilakukan pedalaman tentang keterangan si bidan itu sendiri. Oleh karena
itu pihaknya bukan tidak mau memberikan pernyataan.
“Nanti akan dicocokkan keterangan dari pihak
keluarga yang bersangkutan dengan keterangan dari bidan itu sendiri, nanti juga
kelihatan benang merahnya antara yang jujur dengan yang tidak jujur, kita
tunggu saja,” ungkapnya (budi)***
Sumber: Surat Kabar Umum SERGAP; Edisi 52
Tahun ke 3 / 31 Mei -15 Juni 2010; hal 1
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
Terkait Kasus Aborsi di Sentosa Lama, Dr dan Bidan Ditahan
Poltabes Medan
Posted in Kriminal by Redaksi on
Desember 15th, 2009Medan (SIB)
Terkait kasus dugaan melakukan aborsi di salah satu rumah yang diduga dijadikan sebagai tempat praktek aborsi di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama yang digerebek anggota Reskrim Poltabes Medan, Sabtu (12/12) lalu, dua orang telah dijadikan tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan. Kedua tersangka yakni Dr J dan Bidan M.
Kasat Reskrim Kompol Gidion Arif Setyawan SIK dan Kanit VC Poltabes Medan AKP Ronny Nicolas Sidabutar SIK saat dikonfirmasi SIB, Senin (14/12) membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Dr J dan Bidan M sebagai tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan guna pengusutan lebih lanjut.
Untuk biaya aborsi, R dikenakan biaya Rp 2 juta oleh tersangka. Diduga, R melakukan aborsi atas kemauan dirinya sendiri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penggerebekan itu berawal dari adanya laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa satu rumah di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama kerap kali dijadikan tempat praktek aborsi.
Kemudian anggota Unit VC Reskrim Poltabes Medan melakukan penyelidikan di lapangan sekaligus menggerebek rumah tersebut. Dr J dan Bidan M yang diduga sebagai pelaku aborsi tersebut selanjutnya diboyong ke Mapoltabes Medan untuk diperiksa. (M16/y)
- SOLUSI
Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan psikologi.
Jadi, pada kasus aborsi di atas, pelaku (bidan) ditindak oleh kepolisian dan dijerat KUHP Bab XIX Pasal 299, 348 dan 349 serta UU Kesehatan No.23 tahun 1992 Pasal 80 ayat 1. Dan bidan tersebut dicabut ijin praktiknya. Sedangkan korban dijerat KUHP pasal 346.


Komentar
Posting Komentar