Down Syndrom
Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan
kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen
SLC5A3,[1] yang dapat dikenal dengan melihat
manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada
tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri
yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme.
Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa
merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk
penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini
penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.
Gejala atau tanda-tanda
Penderita
sindrom down memiliki jarak antar jari kaki yang melebar.
Gejala yang
muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama
sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita
dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang
menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly)
dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya
tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol
keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian
tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian
tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak
antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara
itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).
Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada
sistem organ yang lain.
Pada bayi
baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini
yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada
sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak
sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti
muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom
down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati
memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak
dengan sindrom down lebih tinggi.
Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio
APP (bahasa Inggris: amyloid
precursor protein)[2] seperti pada penderita Alzheimer.
Definisi sindrom down
Sindrom down
adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan
adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi
pembelahan.
Pencegahan
Pencegahan
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis
bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu
hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena
mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan
oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlah kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi
3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat
ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis
dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS
(mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau
amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
Pemeriksaan diagnostik
Untuk
mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat
membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
- Pemeriksaan fisik penderita
- Pemeriksaan kromosom
- Ultrasonografi (USG)
- Ekokardiogram (ECG)
- Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
Penatalaksanaan
Sampai saat
ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi
kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat
mengalami kemunduran dari sistem penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya
mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian
penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta
kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan
kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya
dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat
sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan
pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin
rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta
pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat. Mahanta Aldiano
Rujukan
1. ^ (Inggris)"The human
osmoregulatory Na+/myo-inositol cotransporter gene (SLC5A3): molecular cloning
and localization to chromosome 21". Department of Pediatrics, University of
Pennsylvania School of Medicine; Berry GT, Mallee JJ, Kwon HM, Rim JS, Mulla
WR, Muenke M, Spinner NB. Diakses 2010-05-03.
2. ^ (Inggris)"Tumorigenesis and
neurodegeneration: two sides of the same coin?". Department of Pathology,
Massachusetts General Hospital; Staropoli JF. Diakses 2010-06-28.

Komentar
Posting Komentar